Mari Jihad, Mari Berperang ?


Antara Dakwah dan Perang

Peperangan merupakan salah satu peristiwa dalam rekam jejak dakwah Islam, itu tak dapat dipungkiri. Banyak orang mengatakan Islam adalah agama yang bisa eksis melalui peperangan. Mulai dari zaman kenabian, khulafa’ur rasyidin, Daulah Bani Umayyah, Daulah Bani Abasiyyah dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan perang adalah ajaran nabi yang termaktub dalam teks Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Pada periode  awal diutusnya Nabi Muhammad, dakwah Islam belum di tampakkan di khalayak umum. Dakwah secara sembunyi-sembunyi dari satu pintu rumah ke pintu rumah yang lain adalah metode yang sesuai di awal kemunculan ajaran Islam. Hingga turunlah ayat Al-Hijr;94 yang me-naskh (merubah) perintah dakwah sembunyi-sembunyi menjadi perintah dakwah secara terang-terangan. Maksud secara terang-terangan adalah berani menampakkan syiar Islam di hadapan publik Makkah pada saat itu. Nabi Muhammad SAW sudah berani memproklamirkan diri sebagai utusan tuhan, pembawa agama kebenaran yang berisi pesan-pesan perdamaian.

Pada puncaknya, tepatnya pada  periode Madinah, Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk memulai dakwah dengan mengangkat senjata menimbang kualitas dan kuantitas umat muslim yang besar pada saat itu. Siapa pun yang tidak menerima ajakan Nabi Muhammad, maka umat Islam direstui untuk memeranginya hingga hanya ada tiga pilihan yaitu masuk islam, membayar jizyah atau merelakan darahnya mengalir.

Apa yang dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya diikuti oleh umat Islam hingga ditetapkanlah hukum-hukum peperangan (jihad) dalam kitab Fiqih. Ajaran itu terus dipertahankan hingga periode-periode akhir, tak terkecuali diikuti oleh ulama’-ulama’ nusantara. Contoh kongkrit adalah peristiwa 22 Oktober 1945. Peristiwa ini sangat masyhur, apa lagi di kalangan Nahdliyyin. Peristiwa ini dikenal sebagai Resolusi Jihad yang imbasnya terjadi perang besar-besaran antara tentara Inggris dengan TNI yang dibantu para ulama, para santri dan arek-arek Suroboyo.

Pada waktu itu kemerdekaan Indonesia bisa dikatakan bau kencur seperti bayi merangkak yang tak mempunyai kekuatan besar. Hingga pasukan Inggris yang ada pada barisan sekutu di kirim ke Indonesia dengan misi membebaskan tawanan perang dari pihak sekutu dan berkehendak mengembalikan Indonesia menjadi negeri jajahan di bawah administrasi Belanda. Karena perhatian ulama dalam mempertahankan kemerdekaan sangat besar, maka Syekh Hasyim Asy’ari memberikan instruksi kepada segenap umat Islam untuk ikut berperang di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, hingga kemerdekaan berhasil kita nikmati sampai sekarang.

Dalam perkembangannya, dakwah dengan berperang memunculkan beberapa pertanyaan pada umat Islam sendiri. Sudah jelas tertera perintah perang dalam Al-qur’an, tak dapat di pungkiri juga sudah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, para sahabat, tabi’in, hingga ulama’ Indonesia.

Melihat situasi sekarang, apakah perintah berperang itu tetap diberlakukan? Apakah non muslim di Indonesia halal dialirkan darahnya hingga kita bisa menjarah harta mereka (seperti cina yang memiliki pertokoan di tempat-tempat strategis)?  Sejauh mana relevansi ayat Al-Qur’an dan Hadist tentang perintah berperang? Maka butuh jawaban yang panjang dan jelas untuk menjawab ke-musykilan tersebut.

Tafsir Jihad

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 256 Allah berfirman tentang tidak ada paksaan kepada orang kafir untuk masuk Islam (laa ikroha fid din). Ayat ini digunakan sebagai hujjah oleh orang yang berpendapat bahwa Islam tidak mengajarkan peperangan. Ayat ini dipahami oleh beberapa orang sebagai petunjuk bahwa dakwah Islam hanya sekedar ajakan yang tidak ada paksaan. Mungkin sebagian dari kita dan orang-orang terdekat mempunyai persepsi yang sama terkait hal ini. Maka, kejelasan secara ilmiah dengan litersi mu’tabar adalah sebuah keharusan.

Jika menelaah beberapa kitab tafsir seperti tafsir Ibnu katsir, tafsir Fakhrur Rozi, tafsir Qurtubi atau tafsir yang lainnya, ternyata mempunyai keterangan berbeda, tidak sama seperti pemahaman banyak orang. Disebutkan bahwa ayat laa ikroha fid din yang mana mempunyai arti tidak ada paksaan dalam beragama, ternyata ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat tentang berlakunya kandungan ayat tersebut. Kebanyakan mufasir mengatakan ayat ini telah di amandemen dengan ayat tentang perintah perang, dan sebagian yang lain mengatakan ayat ini tidak d iamandemen .Walaupun demikian, mufassirin yang berkata tidak adanya amandemen menyatakan bahwa ayat ini tetap diberlakukan tapi hanya mengarah pada kafir ahli kitab yang membayar jizyah. Ringkasnya, ayat ini berkata bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam bagi ahli kitab yang telah membayar jizyah. Tapi kafir yang lain tetap di syariatkan untuk diperangi.

Perintah berperang itu ada dan lestari, tak ada hal yang bisa menghapusnya. Jika hukum yang benar tentang perintah berperang (jihad) sudah jelas, maka tugas selanjutnya adalah mengetahui penerapan jihad masa kini. Apakah rakyat Indonesia wajib memerangi non muslim yang ada?

Syeikh Abu Bakar Syatta Addimyati dalam karyanya Ianatut Thalibin memaparkan bahwa yang dimaksud jihad secara fiqih adalah perintah memerangi orang kafir setelah orang kafir tersebut enggan menerima dakwah Islam dan dengan syarat status orang kafir tersebut tidak dilindungi oleh syariat. Dalam artian umat muslim tidak di legalkan untuk berbuat semena-mena mengalirkan darah non muslim jika mereka belum di dakwahi dengan cara halus dan umat muslim tidak boleh semena-mena mengalirkan darah orang non muslim yang dilindungi oleh Negara melalui akad perjanjian.

Imam Romli dalam fatawanya berkata bahwa berperang menjadi wajib (fardlu ain) apa bila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, bertemunya dua barisan prajurit (berkecamuknya peperangan). Kedua, negara Islam diserang orang kafir. Ketiga, saat Imam memerintah rakyat untuk ikut berperang. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak ada kewajiban berperang. Berperang hukumnya menjadi boleh (jawas), itu pun jika memenuhi persyaratan seperti pemaparan Syaikh Abu Bakar Syatta Ad-Dimyati di atas.

Jika pada zaman nabi, perang mengangkat senjata di perintahkan karena beberapa alasan. Yaitu disebabkan kuatnya umat Islam pada saat itu, disebabkan kedzaliman yang dilakukan orang kafir, dan karena kafir yang diperangi adalah kafir harbi atau yang tidak melakukan perjanjian perdamaian. Maka pada saat peristiwa 10 Nopember Syeikh Hasyim Asy’ari pun memerintahkan berperang melawan tentara Inggris karena ada beberapa alasan juga. Yaitu mengusir kafir harbi dari tanah NKRI dan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Lantass, bagaimana hukum bereperang di Indonesia? Apakah rakyat diperbolehkan mengalirkan darah non muslim di Indonesia? Apakah dibenarkan tindakan pengeboman oleh para teroris dengan menyasar korban non muslim?

Untuk menjawab itu kita harus tahu status non muslim di Indonesia. Di awal sudah diketahui bahwa non muslim yang tidak ada akad aman dengan umat Islam boleh diperangi. Akad aman itu bisa berarti ada pembayaran jizyah dari kafir tersebut atau dalam keadaan gencatan senjata. Termaktub dalam fatwa syeikh Ismail Zain bahwa status non muslim di Indonesia bukan dzimmi atau muahid, tapi harbi yang hukum asalnya boleh diperangi.

Walau demikian kata beliau, mendzolimi mereka akan berdampak pada keburukan yang lebih besar. Memerangi mereka adalah dzolim yang sebenarnya. Syeikh Ismail Zein lebih menitikberatkan dzoror yang lebih besar jika tetap dipaksakan berperang. Berbeda halnya pendapat dari fatwa ulama’ Haramain. Menurut ulama’ Haramain, kafir di Indonesia di statuskan sebagai kafir fi dzimmati ta’min yang nilainya sama dengan kafir dzimmi yang memunculkan hukum tidak boleh diperangi.
Secara garis besar hukum berperang di Indonesia adalah haram baik merujuk fatwa Syeikh Ismail Zen atau fatwa Ulama Haramain. Kecuali pada kondisi Negara Indonesia diserang.

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa jihad dengan artian berperang memang sebuah tuntunan tapi tidak bisa diberlakukan di situasi seperti sekarang. Biarpun begitu, jihad dengan arti lain tetap harus diperjuangkan. Karena ruh jihad tidak boleh lepas dari genggaman umat Islam, khususnya bagi kaum muda milenial masa kini.

Dalam fiqih manhaji diterangkan bahwa jihad sebenarnya adalah semua usaha yang bertujuan untuk mengagungkan agama tuhan. Hal itu tidak tertentu pada peperangan. Selama ada usaha terbaik dalam memajukan syariat agama serta nusa bangsa, maka itu sudah dikatakan sebagai jihad. Semua hal yang baik adalah jihad. Membantu orang tua, belajar giat, menaati peraturan, mengisi kemerdekaan dengan hal positif, semua itu adalah jihad.

Jika masih ada orang berkeyakinan boleh menyakiti, memerangi bahkan menjarah harta non muslim di Indonesia dengan dalih jihad, maka bisa dipastikan orang tersebut akan mati sangit, bukan lagi mati syahid.

Wallahu A’lam

Ditulis Oleh: Rubait Burhan Hudaya, Anggota Biro wacana masa juang 2018/2019

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama