Pengagum Semu


Sebagian besar sahabat PMII-ku mengidolakan Mahbub Djunaidi, termasuk diriku. Ya, Ketua Pertama PMII itu. Mengidolakan beliau adalah suatu hal yang membanggakan bagi kader PMII. Mengutip tulisan Bung Mahbub, memasang foto beliau di sosial media, memberi ucapan selamat ulang tahun 'Selamat Ulang Tahun Sang Pendekar Pena' --tanpa tahu dalam diri Mahbub Djunaidi juga melekat julukan si burung parkit di kandang macan--, membagikan karya-karya beliau --entah dengan cara bagaimana-- yang tak sedikit jumlahnya itu, selalu menjadi suatu hal yang mengesankan sekaligus wajar.


Mengesankan bahwa kader millenial senantiasa mau berpegang pada modalnya, belajar dari para pendahulunya. Sekaligus wajar sebagai orang hebat nan sederhana --yang melawan ketidakadilan serta teguh membela wong cilik--, Bung Mahbub sangat pantas untuk dicintai. Tak jarang hati kita dibuat hidup atas tulisan humor nan serius ala Bung Mahbub. Apalagi dengan mengutip karya-karya beliau, bisa sedikit membuktikan diri sebagai kader yang melek literasi.


Masih tentang Bung Mahbub, model pembicaraan di antara para sahabat tak pernah berubah. Ketika kami sedang membincang perjalanan panjang PMII, dapat dipastikan di tengah pembicaraan terdapat bumbu-bumbu 'kemahbuban'. Kemarin, 27 Juli 2020, ialah hari kelahiran Mahbub Djunaidi, tepat 87 tahun lalu. Di tanggal itu pula, aku semakin terkesima pada seseorang. Kepada seorang sahabat yang sederhana --yang kukira kesederhanaan itu bukan hanya dari pakaiannya. Ia lebih banyak diam meski sebetulnya ia suka bergurau, matanya menyimpan kepolosan sekaligus ketenangan. Ia bukan keturunan orang alim ataupun orang berada, anehnya aku selalu merasakan suatu kemegahan jika berada di sekitarnya. 


Awalnya aku tidak begitu dekat dengan dewa tenang itu. Hanya saja sebagai sesama pengurus rayon, kami mulai sering berbincang, dimulai perihal agenda berjalan rayon. Di suatu siang di bangku taman kampus paling selatan --yang bisa dikatakan sebagai tempat favoritnya mengajak satu dua sahabat untuk berbincang perihal apa saja-- aku melihatnya, lalu buru-buru aku mendatanginya. Sekedar merindukan ketenangannya ketika ada yang jahil padanya, sesekali diriku. 


Kebetulan siang menjelang sore itu, dia ngobrol santai dengan seorang sahabat, Dafa, yang dikenal sangat cerdas di angkatan kami. Nah, kalau dengan Dafa aku lebih akrab karena aku suka bertanya banyak hal kepadanya, meskipun terkadang aku tidak pernah paham apa yang disampaikannya. Aku menemui keduanya. Lantas berjabat tangan kebanggaan kami, ala PMII. Aku mendahului bertanya sebelum ditanya oleh mereka. Aku menepuk pundak sang dewa tenang itu seraya nyeletuk sumringah, tabiatku.


(26 Juli 2020)


"Eh kamu tau nggak besok hari apa?" (Sembari kulihat sedikit Dafa menyunggingkan senyum di bibirnya)


"Besok tanggal berapa memangnya?" Jawab sang dewa tenang tentu dengan ketenangannya.


"27 Juli 2020 lah…"


"Besok sepertinya…", ucapnya sedikit mengingat-ingat, "hari lahir Mahbub Djunaidi, bukan?"


"Betul sekali, yang ke-87. Kan beliau lahir tahun 1933. Begitukan, Fa?"


"Tepat.", jawab Dafa tegas. "Dan wafat pada 1 Oktober 1995."


Berjam-jam kemudian kami bertiga membincang perihal buku-buku karya Mahbub --meskipun tentu pembicaraan merambat ke segala hal dalam ruang berproses kami saat ini-- dimana Dafa mewarisi buku tersebut dari kader angkatan dua tingkat di atas kami, yang judulnya Kolom Demi Kolom (1986) dan Humor Jurnalistik (1986). Dua buku yang pernah kubaca dua kali tetapi hingga kini belum berhasil tertuntaskan. Mungkin dalam waktu dekat kucoba kembali. Tentu dengan cara meminjamnya kepada Dafa.


Seketika aku teringat 3 karya Mahbub yang ku punya dan telah khatam ku baca. Dari Hari Ke Hari: Roman (1975); Asal-Usul (Cetakan Kedua, 2018); dan Binatangisme karya George Orwell (Terj. Mahbub Djunaidi, Cetakan Kedua, 2017) --dengan judul asli Animal Farm: A Fairy Story. Sembari aku melamun ketika memikirkan hal tersebut, suara sholawat tarhim menyadarkanku. Hari telah gelap lantas kami bertiga bergegas saling berpamitan, pulang ke kost masing-masing.


Pada siang hari berikutnya, tepat 27 Juli 2020. Dunia layarku --pasti sama halnya dengan para sahabat PMII-- ramai dengan kasih cinta kepada Bung Mahbub lewat poster-poster ucapan hari lahir Bung. Mulai dari tingkat pengurus besar hingga rayon serentak mengenang beliau -atau sangat mungkin ada yang baru mengetahui nama dan tanggal lahir Mahbub Djunaidi. Aku pun turut mengunggah ucapan mengenang hari lahir Bung Mahbub lengkap dengan cukilan kata-kata (quotes) beliau dan nama rayon kami.


Sebuah notifikasi yang membuatku bersemangat segera aku tanggapi. Itu pesan whatsapp dari si dewa tenang. Bukan orangnya yang membuatku semangat, tapi pesan darinya yang mengomentari unggahanku untuk Bung Mahbub. Ia menanyakan apakah benar aku mengidolakan Bung Mahbub. Sontak pertanyaan itu membuatku bersemangat untuk menjawabnya. Pikirku, jawabanku akan memantik pendapatnya yang selama ini jarang direkam banyak orang, kecuali mereka yang beruntung --yang kadung akrab dengannya


Lantas aku menimpali pertanyaannya dengan panjang kali lebar bahwa aku mulai mengenal Bung Mahbub setelah tiga semester sejak daulat diriku kepada PMII. Dulu aku hanya pernah membaca nama beliau entah di suatu artikel atau di sampul buku. Entahlah aku hanya samar-samar mengingatnya. Hingga kemudian ada bincang bersama sahabat-sahabat yang lebih dahulu berproses daripadaku. Tema kali itu adalah "Tentang Bung Mahbub". Sejak saat itu aku semakin terpesona dengan Mahbub Djunaidi. Yang mendukungku untuk teguh pada prinsip dan setia terhadap proses --seperti kata Tan Malaka tentang definisi orang besar. Itulah Mahbub Djunaidi bagi kader PMII terkhusus dan bagi Indonesia secara luas.


"Tanamkan di kepalamu bahwa hak asasi sama pentingnya dengan sepiring nasi." Itulah kalimat Bung Mahbub yang menjadi favoritku. Bagiku kalimat itu begitu mengena bagi tidak hanya bagi idealis seumuranku, pun berlaku bagi mereka yang akalnya masih sehat. Terakhir aku melengkapi jawabanku utk sang dewa tenang dengan kekagumanku pada tulisan. Sang pendekar pena itu adalah penulis hebat, aku terheran-heran bagaimana Bung bisa seringan itu menulis berbagai hal yang terlampau berat dibahas. "Sebagai esais, kolumnis, aktivis, dan santri, beliau benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa." pungkasku.


"Mungkin itulah yang Bung Mahbub Djunaidi teladani dari sang ayah, H. Djunaidi, yang pekerja keras dan sang guru Kiai Amir Chamzah yang bergelar Gunawiyata (guna = bermanfaat bagi orang lain; wiyata = pemberi pengajaran, pendidik)." Jawab sang dewa tenang.


Sontak jawaban tersebut sedikit mengagetkanku. Bahkan aku tidak pernah menduga ia akam cukup jauh mengetahui tentang Mahbub Djunaidi. Sama sekali ia tak pernah menyinggung nama 'Mahbub' dalam setiap ucapannya --dalam diskusi maupun obrolan biasa. 


"Apa kau juga suka membaca tentang Bung Mahbub? Sama sepertiku yang akan mencari tahu berbagai hal tentang Bung Mahbub ketika hasrat berprosesku sedang memuncak.", tanyaku penasaran.


"Aku hanya membacanya ketika merindukannya (Mahbub Djunaidi)", begitulah sang dewa tenang itu, tidak pernah tidak memanggil Bung Mahbub dengan nama lengkapnya. Atau mungkin perasaanku saja. Kukira tidak.


Membaca kata rindu itu seketika aku kelu menjawabnya. Hingga kemudian kekeluan itu mencapai klimaks ketika sang dewa tenang bertanya kepadaku yang mengidolakan Bung Mahbub ini. Tanyanya mengapa Mahbub dalam karyanya --dari sekian banyak hewan-- seakan memberi tempat istimewa pada kucing, merujuk pada novelnya Angin Musim (1985) dan novel terjemahannya Cakar-Cakar Irving (1982) karya Art Buchwald. Tentu saja aku kelabakan menjawab pertanyaan itu, karena memang aku tidak pernah memikirkannya. Bahkan aku baru tahu Bung Mahbub menerjemahkan novel Irving's Delight itu.


Aku menjanjikan jawaban atas pertanyaan itu di kemudian hari. Tak terlampau tinggi aku mengangkat diri. Sebagai pengagum Bung Mahbub, kepada sang dewa tenang aku mengakui tak pernah berpikir sejauh hal yang ditanyakannya tadi. Lantas untuk menyambung perbincangan menarik kami ini, aku bertanya balik kepadanya perihal hal unik yang ia ketahui tentang Mahbub Djunaidi, yang barangkali aku sama sekali tidak mengetahuinya. 


Pertanyaanku ini jelas menyiratkan bahwa aku mulai menyadari kedalaman dirinya. Yang hanya sesekali memekikkan seremonial, kebanyakan dalam keheningan yang menggetarkan. Entah berapa banyak dan lama ia telah menyusuri jalan Bung Mahbub, di buku, artikel, koran-koran jaman dulu (jadul), atau bahkan kepada saksi hidup perjuangan Bung Mahbub. Pikiranku mulai melayang-layang.


Sementara itu selang beberapa menit kemudian, ia dengan kalimat yang tersusun rapi membagikan keterkesanannya kepada aset perjuangan politik Mahbub Djunaidi yang tercetak indah dalam kepala para pejuang sedari masanya hingga masa sekarang. Sudah barang tentu hal ini sangat mudah ku tebak. Pembahasan politik memang begitu menggiurkan bagi para idealis di usiaku. Meskipun tak mengerti politik apa itu sesungguhnya. Tetapi ternyata aku salah kaprah. Sang dewa tenang tak semudah itu ditebak. Ia jauh dari pikiran orang-orang sepertiku.


Keterkesanannya pada Bung Mahbub, membuatku terkesan. Ketika ia menyatakan ia terkesan pada sikap perjuangan Mahbub Djunaidi, bukan sikap yang memilih berada di luar lingkaran kekuasaan melainkan koherensi yang dimiliki Bung Mahbub dalam seluruh perjuangannya. Mahbub Djunaidi berpolitik --dan menulis adalah perlawanan politiknya yang utama-- namun tak pernah menyembah politikus. Sama halnya dalam hal menulis, cemooh kocak (gaya humor dan satire) adalah konsistensinya menuangkan wacana kritis dalam setiap karya yang ia ukir.


Sungguh aku merenungi apa yang sang dewa tenang sampaikan kepadaku. Hingga akhir perbincangan daring kami, sepertinya tipu dayaku berhasil untuk membuatnya tak merasakan kekompleksan ketersesatanku akan keunikan Mahbub Djunaidi --tokoh yang sering dipasang fotonya yang berhiaskan kutipan tulisannya itu-- Segera akan aku tunaikan tawarannya untuk meminjamiku novel anggitan Mahbub Djunaidi, Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hassan Heikal) yang ditulis dari dalam penjara pada 1978 dan Cakar-Cakar Irving (Art Buchwald) yang terdapat dialog tokoh "Astagfirullah!" di dalamnya.


Sungguh ternyata aku tak tahu apapun perihal sang pendekar pena, Mahbub Djunaidi, Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) pada tahun 1952; Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat, surat kabar milik Partai Nahdlatul Ulama (NU) 1958; anggota DPR-GR/MPRS (1960); anggota Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI); Ketua Umum Pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII 1960-1963); Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1965). Setiap hari tetap dengan unggahan media sosial dalam mode on yang menandaskan pengidolaan kepada Mahbub Djunaidi, sangat perlu kiranya aku lebih menyelami kehalusan maksud di balik keteladanan-keteladanan beliau.


*Betari Imasshinta (Wakil Ketua PMII Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020)

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama