Tan Malaka, Politik Kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia

                                           Oleh: Moeh. Zainal Abidin*

Pendahuluan

Tan Malaka merupakan sosok pahlawan nasional yang cukup kontroversial dalam sejarah revolusi Indonesia. Di satu pihak dia dipuja sebagai revolusioner sejati dengan segala prinsip yang dipegangnya, sementara di pihak lain, dia dicaci karena dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang keberadaannya di Indonesia lewat Tap MPRS XXV/1966 yang berisi larangan terhadap segala sesuatu yang berbau marxisme-leninisme, entah itu dalam bentuk organisasi maupun penyebaran ajaran-ajarannya.


Lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1894 dengan nama kecil Ibrahim, Tan Malaka meninggal di ujung senjata tentara republik yang diperjuangkannya di daerah terpencil di kaki Gunung Wilis, Desa Selopanggung, kecamatan Semen, Kediri pada 21 Februari 1949. Setelah kematiannya, Tan Malak mendapat gelar pahlawan nasional dari Presiden Republik Indonesia pada 1963 berdasarkan Keppres nomor 53 tahun 1963. Namun, namanya tidak pernah disebut dalam sejarah resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah selama 32 tahun orde baru berkuasa.

Apa yang dilakukan oleh orde baru terhadap Tan Malaka, tentu saja bisa dipahami jika melihat preseden G30S 1965[2]yang menjadi tonggak lahirnya pemerintahan orde baru. Oleh sebagian besar pihak, pemberontakan tersebut dipercayai dilakukan oleh PKI dan setelah itu, segala hal yang berbau PKI dan kiri dianggap sebagai setan yang keberadaanya diharamkan di Indonesia. Sementara Tan Malaka dianggap sebagai sosok yang memiliki hubungan erat dengan PKI. Ironisnya, Tan Malaka bahkan dianggap sebagai Trotskys oleh para pimpinan PKI karena tidak menyetujui pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada 1926.

Hampir separuh hidup Tan Malaka dihabiskan di luar negeri. Dia dijadikan buronan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tulisan dan perjuangannya tentang perjuangan, revolusi, dan kemerdekaan Indonesia. Bukunya berjudul Naar de Republiek Indonesia (19240 yang berisi konsepsinya tentang bentuk dan program negara, terbit jauh sebelum Indonesia merdeka dan terbit lebih dahulu sebelum lebih dahulu terbit daripada buku Mencapai Indonesia Merdeka (1933) karya Soekarno maupun  buku Ke Arah Indonesia Merdeka karya Moh. Hatta (1932).

Setelah lulus dari sekolah guru-guru di Bukittingi, pada tahun 1913 Tan Malaka meninggalkan tanah kelahirannya untuk meneruskan pendidikannya ke negeri belanda bersama Horensma -gurunya semasa belajar di Bukittingi- di Rijk Kweek School atas bantuan pinjaman dari Yayasan EngkuFunds yang akan dibayarnya usai lulus. Di Belanda, watak Tan Malaka terbentuk: membaca, belajar, dan menderita. Dia harus banyak berjuang untuk lulus lulus sekolah dan berjuang melawan penyakit bronkitis yang bermula karena ketidakcocokan iklim dan kurangnya pakaian tebal yang dimiliki.[3]

Di Belanda pula Tan Malaka bersinggungan dengan gagasan-gagasan revolusioner. Menurut Harry Poeze tan malaka cenderung jatuh hati pada ide-ide sosialisme-marxisme. Tan Malaka juga pernah diminta oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar dewantara) mewakili Indische Vereeniging untuk mengikuti kongres pemuda Indonesia dan pelajar ideologi di Belanda pada 1918 (ada juga yang menyatakan 1919).[4] Interaksinya dengan pelajar dengan berbagai latar belakang ideologi di Belanda, menjadi gerbang awal ketertarikan Tan Malaka terhadap dunia politik.

Memimpin PKI, Memulai Petualangan Politik

Setelah pulang ke Hindia belanda pada 1919, Tan Malaka menjadi guru di sebuah perekebunan di Deli, Sumatera Utara dan mengajar anak-anak kuli di perkebunan untuk membayar hutang-hutangnya pada Yayasan Engkufund. Keadaan di perkebunan yang benar-benar kapitalistis dan rasis, menyulitkan hidupnya. Meski ia di bayar dengan norma-norma Eropa, tetapi rekaan-rekan Belandanya selalu memandangnya sebelah mata dan meremehkan pekerjaaannya.[5]Tan Malaka menggambarka kedaan yang dialaminya selama di perekebunan sebagai berikut: “Akhirnya saya berharap lekas lepas dari hutang yang terasa berat, sambilmendapatkan pengalaman yang berharga dalam pergaulan dengan bangsa sendiri yang paling terhisap, tertindas dan terhina, sambil menyelam minum air”[6].

Keadaan semacama ini, semakin menegaskan tekadnya untuk menentang ketidakadilan yang dialaminya, sekaligus mempertegas tekadnya untuk melawan penjajah yang telah merebut hak pribumi yang telah dicuri oleh kolonial, dan jadilah ia komunis yang sadar akan perjuangan, menjadi seorang intelektual organik.[7]

Tan Malaka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanya dan berlayar ke Pulau Jawa pada 1921. Di Pulau Jawa, Tan Malaka tinggal di Kota Semarang yang menjadi basis PKI bersama Semaun. Di Semarang pula, Tan Malaka mendirikan dan memimpin sendiri sekolah rakyat. Dalam waktu bersamaan Tan Malaka juga aktif mmendukung PKI, mengorganisir kaum buruh dalam VSTP dan juga menjabat sebagai wakil ketua serikat Buruh Pelikan (Tambang).[8] Selama di Semarang Tan Malaka menulis dua risalahnya: pertama, Soviet  atau Parlemen(1921). Risalah ini berisi uraian mengenai berbagai sistem pemerintahan yang dikenal saaat itu. Dalam risalah ini, Tan Malaka membandingkan dua sistem tersbut. Bagi Tan Malaka, parlemen hanya akan menjadi alat dari kelas penguasa, seiring dengan menguatnya kapitalisme dengan ujung tombaknya imperialisme, pada akhirnya parlemen hanya akan menjadi alat dari kapitalisme untuk menundukkan rakyat. Sementara Soviet atau dewan rakyat adalah organisasi rakyat yag bertujuan untuk menegakkan sosialisme. Tan Malaka juga menguraikan bahwa sifat soviet tidak hanya ada pada pemerintah, namun juga terdapat dalam desa, pabrik, dan segala lini masyarakat. Soviet hanya bersifat sementara yang akan hilang seiring tercapainya sosialisme, sementara parlemen adalah alat untuk mengekalkan kapitalisme.[9]

Kedua, SI Semarang dan Onderwijs (1921). Risalah ini berisi uraian Tan Malaka tentang tujuan pendidikan  dari sekolah yang dibangunnya. Menutut Tan Malaka, pendidikan yang diberikan pada rakyat bumiputera harus memuat tiga hal pokok, yakni: memberikan basis pengetahuan yang cukup untuk bertahan hidup, pemberian hak pada murid melakukan hobi sembari mengarahkan para siswa untuk berorganisasi untuk membentuk karakter kebangsaan, serta pendidikan yang berorientaasi pada kecintaan terhadap rakyat dengan memberikan pemahaman mengenai kepekeaan sosial.[10]

Tak lama setelah Tan Malaka didaulat menjadi ketua PKI pada kongres tahun 1921[11], ia harus menghadapi keadaan sulit. Isu disiplin partai yang dihembuskan oleh para pimpinan Sarekat islam di Yogyakarta harus dihadapinya. Seluruh cabang SI berada di bawah pengaruh Agus Salim yanng mempertentangkan ajaran sosial dalam Islam dan mempertentangkan doktrin Marxis berhasil menegakkan disiplin partai. Usahanya untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan tak berhasil membendung perpecahan antar kedua belah pihak.

Keikutsertaan Tan Malaka dan partainya dalam pemogokan serikat buruh yang tergabung dalam Revolusionare Vakcentrale (VSTP, Pelabuhan, Pertambangan, Gula, dll) pada Januari 1922 membuat Gubernur Jendral Dirk Kock menggunakan Exorbitante Rechten[12] untuk menangkap dan membuang Tan Malaka. Pada 2 Maret 1922 Tan Malaka ditangkap dan akan diinternir kek Kupang. Namun, atas inisiatif, kehendak, dan biaya sendiri Tan Malaka memilih untuk dibuang ke luar negeri. Pada tanggal ini juga Tan Malaka berangkat meninggalkan Hindia dan baru kembalai ke tanah kelahirannya –secara ilegal- setelah Jepang berhasil mengalahkan Belanda serta menduduki Singapura dan Hindia pada 1942

Berjuang di Luar Negeri

Meski berada di luar negeri, Tan Malaka tidak pernah melupakan perjuangan akan kemeredekaan Indonesia. Pada akhir tahun 1922 Tan Malaka berangkat ke Moskow untuk mewakili Asia Tenggara dalam Kongres Komintern IV di Moskow yang berlansung pada 5 November-5 Desember 1922. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan pidatonya yang terkenal tentang perlunya persatuan antara Komunisme dan Pan Islamisme untuk memerangi imperialisme.

Pidato yang disampaikan Tan Malaka dalam Kongres Komintern IV berakar kuat dari singgungan yang dialaminya dengan Sarekat Islam sebagai suatu partai nasionalis radikal. Dalam pandangan Tan Malaka saat itu, pan-islamisme sudah jauh berbeda dari awal kemunculan gerakan islam itu sendiri. Negara-negara dengan basis islam saat itu juga kebanyakan dijajah oleh pemerintahan kolonial, sehingga pan-islamisme itu sendiri, bagi tan malak berarti perjuangan nasional. Menurut Tan Malaka, inilah titik dimana komunisme dan pan-islamisme wajib bersatu untuk memerangi imperialisme.[13]

Usai kongres Tan Malaka mendapat kepercayaan dari Komintern untuk menjadi wakil Komintern di Asia Tenggara pada 1923 dengan wewenang tentang urusan partai, kelompok-kelompok, dan tokoh-tokoh di kawasan itu. Karena masih berada di bawah ancaman Belanda, maka Tan Malak memilih Kanton sebagai basis perjuangannya. Disini pula, karen a melihat kondisi PKI yang semakin memiliki keinginan kuat untuk memberontak lewat berbagai pemogokan-pemogokan yang dilakukan,  Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia yang berisi analisanya tentang kondisi dunia pasca Perang Dunia I, situasi nasional di Indonesia yang akan memunculkan revolusi dengan segera, serta arahan-arahannya terkait perjuangan revolusioner yang harus dilakukan untuk mengisi revolusi kemerdekaan.[14]

Karena merasa berada terlalu jauh dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka memutuskan untuk pergi ke Manila pada 1925 dengan nama samaran Elias Fuentes. Sementara itu, pada tahun yang sama pula PKI mengadakan rapat gelap di Prambanan dengan tujuan untuk melakukan pemberontakan terbuka. Sesuai rencana, pemberontakan itu akan dimulai dari Sumatera Barat pada 1926. Namun, rencana itu harus ditunda karena ketahuan oleh pemerintah kolonial dan adanya ketidak sepahaman antar cabang-cabang PKI.

Pada 1926, Alimin datang ke Manila untuk meminta restu kepada Tan Malaka terkait keputusan rapat Prambanan. Dalam pertemuan itu, Tan Malaka menyatakan seluruh keberatannya atas pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Pada pertemuan itu pula, Tan Malaka menitipkan surat untuk pimpinan PKI di Singapura. Ternyata, keberatan dan surat yang dititipkan oleh Tan Malaka pada Alimin, tiddak pernah disampaikan pada pimpinan PKI.

Melihat PKI yang berada diambang kehancuran, Tan Malaka memutuskan untuk pergi ke Singapura menemui para pimpinan PKI. Namun, Muso dan Alimin sudah berada di Moskow untuk meminta persetujuan dan bantuan terkait pemberontakan yang akan dilakukan, namun ditolak. Dalam masa genting inilah Tan Malak menulis Aksi Massa (1926, sebuah buku panduan untuk menghadapi revolusi Indonesia dan kritik terhadap rencana pemberontakan PKI. Menurut Tan Malaka, rakyat saat itu belum siap memberontak. Menurutnya, pemberontakan atau revolusi adalah hal penting yang harus disiapkan dengan sempurna, mulai dari massa, penyadaran massa, pengembangan massa, serta pengorganisiran massa.[15] Bagi Tan Malaka, pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada saat itu bukanlah revolusi, melainkan hanya putch.[16]

Dalam kondisi yang demikian, pemebrontakan tetap saja dilakukan oleh PKI secara tak terorganisir, dan terpisah-pisah. Pemberontakan di Jakarta terjadi pada 12 November 1926, sedangkan di Sumatera Barat baru terjadi paa 1 januari 1927. Hasilnya pun seperti apa yang diramalkan oleh Tan Malaka, pemberontakan yang dilakukan oleh PKI hanya menghasilkan putch dan tidak terjadi revolusi sama sekali. Setelah pemberontakan yang gagal, Pemerintah Hindia belanda memiliki alasan yang tepat untuk mengambil tindakan terhadap PKI. Beberapa orang dihukum mati, 4500 orang ditahan dan 1.300 lainnya diinternir ke Digul, Irian Jaya.[17]

Namun, setelah pemberontakan terjadi Moskow berubah sikap. Menyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi adalah letupan awal revolusi. Tan Malaka sendiri yang menyadari bahwa usahanya untuk mencegah pemberontakan gagal, segera bertolak ke Bangkok tak lama setelah pemberontakan terjadi. Oleh para tokoh PKI saat itu, Tan Malaka dianggap sebagai biang keladi kegagalan pemberontakan dan bahkan juga dijuluki sebagai Trotskys.

Ketika berada di Bangkok, bersama Jamaluddin Tamim, Tan Malaka mendirikan Partai Republi Indonesia (PARI) pada 1 juni 1927. Oleh Tan Malaka, PARI dianggap sebagai penerus perjuangan PKI. Dalam manifestonya dijelaskan bahwa PARI adalah partai proletaris revolusioner yang didirikan untuk kepentingan Indonesia. PARI bersifat independen dan tidak memiliki hubungan dengan komintern  dan aksi-aksi Moscow. Menurut Helen Jarvis, sikap Tan Malaka ini adalah bentuk kekecewaannya terhadap Komintern yang sentarlistik dan top down tanpa melihat aspek sosio-politik dan budaya dimana kebijakan komunis akan diberlakukan dan melihat semuanya dalam kacamata Rusia.[18]

Segera seteleh mendirikan PARI, Tan Malaka pergi ke Filipina dengan nama samaran Hasan Ghozali, namun berhasil ditangkap oleh polisi Amerika dan akan dikembalikan ke Hindia Belanda. Berkat bantuan Dr. Jose Abad Santos, Dr. Mariano Santos dan Appolianiro de Los Santos, Tan Malaka bebas dan kemudian bertolak ke Amoy, Tiongkok sebelum pindah ke Shanghai pada 1929. Pada September 1932 ketika Jepang menyerang Tiongkok, Tan Malaka pindah ke Hongkong dan tertangkap disana untuk kemudian dideportasi lagi ke Tiongkok setelah sebelumnya meringkuk di penjara selama hampir dua setengh bulan.

Namun pada 1937 Tan Malaka kembali meninggalkan Tiongkok karena serangan Jepang yang semakin meluas untuk tinggal di Singapura. Setelah Singapura dan Hindia Belada diduduki oleh Jepang pada 1942, Tan Malaka memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Dengan susah payah, Tan Malaka sampai ke Tanah Air dengan nama samaran Ilyas Hussein. Setelah berada di tanah air, Tan Malaka pernah bekerjaa bersaama romusha di pertambangan Bayah, Banten[19] sebelum memutuskan untuk tinggal di Rawajati, Kalibata[20] hinggaa proklamasi terjadi. Dalam otobiografinya, Tan Malaka sangat menyesal karena tidak ikut ambil bagian dalam momentum yang sudah lama diidamkannya tersebut. Seminggu setelah proklamasi, Tan Malaka menemui Ahmad Soebardjo dan menyatakan bahwa dia ingin mengakhiri perjuangan bawah tanahnya dan memulai perjuangan terbuka. Lewat Soebardjo pula, Tan Malaka bisa menemui beberaapa tokoh pergerakan nasional termasuk Soekarno.[21]

Setelah beretmu dengan Soekarno, pada 9 September 1945, Tan Malaka berkelilimg pulau jawa untuk melakukan kampanye tentang kemerdekaan. Tan Malaka tiba di Surabaya pada November 1945 ketika peperangan denga sekutu tengah berkecamuk. Disini pula, Tan Malak menulis bukunya berjudul Merdeka 100% yang berisi tiga tulisan Tan Malaka tentang Musliha, Politik, dan Rencana Ekonomi Berjuang.

Kebijakan pemerintah dibawah perdama menteri Syahrir yang memilih berunding dengan Belanda, membekas dalam hati Tan Malaka, ia menganggap pemerintah sebagai pengecut karena mau berunding dengan maling yang menyatroni rumahnya. Untuk itu, Tan Malaka memiliki keyakinan untuk mengorganisir perlawanan dalm satu badan.

Pada 4-5 januari 1946 Tan Malaka bersama 141 organisasi sipil dan militer berhimpun dalam satu wadah dengan nama Persatuan Perjuanagn (PP) yang ide dan gerakannya merupakan antitesis dari kebijakan diplomasi Syahrir. Pada saat itu pula, friksi politik antara kelompok Tan Malaka dan Syahrir dimulai yang berakhir dengan ditangkapnya Tan Malaka pada 17 Maret 1946 dan baru dilepaskan pada 15 September 1948 ketika Musso dan Amir Syarifuddin melakukan pemberontakan di Madiun.[22]

Garis Politik Tan Malaka: Suatu Pengantar

Semua negara pasti mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak setiap negara. Kemerdekaan dalam mengatur urusan pemerintahan adalah kunci utama dalam pembentukan pemerintahan yang berdaulat. Pada masa awal revolusi kemerdekaan, Tan Malaka tidak melihat bahwa Indonesia memiliki kemerdekaan. Lewat berbagai perundingan dengan Belanda, Indonesia memperoleh lebih banyak kerugian daripada keuntungan.

Usahanya untuk kemrdekaan ndonesia, telah dilakukan jauh sebelum negara ini merdeka. Lewat Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka menguraikan program yang harus dilakukan negara, terutama PKI.[23] Berikut program-program di bidang politik yang ditawarkan oleh Tan Malaka:

1.      Kemerdekaan Indonesia dengan tak terbatas

2.      Membentuk republik federasi dari berbagai pulau-pulau

3.      Segera emanggil rapat nasional yang mewakili seluruh rakyat dan agama di Indonesia.

4.      Pemberian hak politik kepada seluruh rakyat, baik laki-laki mauoun perempuan.[24]

Sebagai pejuang yang memiliki garis politik “merdeka 100%” Tan Malaka selalu menentang kebijakan perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dengan kolonial Belanda. Hal ini dilakukan oleh Tan Malaka, karena perundingan yang terjadi tidak pernah menempatkan Indonesai sebagai satu negara merdeka. Sehingga Tan Malaka, lewat Persatuan Perjuangan mengeluarkan tujuh butir program minimum untuk mencapai kemerdekaan Indonesia yang bagi pemerintah mustahil dilakukan karena terlalu radikal. Ketujuh butir tersebut adalah:

1.      Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%, setelah tentara asing meninggalkan pantai dan lautan Indonesia.

2.      Pemerintahan Rakyat

3.      Laskar Rakyat

4.      Melucuti Jepang

5.      Mengurus tawanan eropa

6.      Menyita dan menyelenggarakan pertanian

7.      Menyita dan menyelenggarakan perindustrian[25]

Dari tujuh program minimum diatas, enam diantaranya memiliki kesamaan dengan Program Rakyat Berjuang yang juga berisi tujuh butir dalam risalah Muslihat, hanya rencana ekonomi berjuang yang diganti dengan urusan perihal tawanan eropa. Ketujuh program diatas, semakin menunjukkan bahwa Tan Malaka dengan garis politik Merdeeka 100% menginginkan agar pemerintah berjuang bersama rakyat dalam mencapai kemerdekaan, bukan malah mengharap hadiah dari hasil kompromi dengan kolonial imperialis.[26]

Tan Malaka pun bukan orang yang anti terhadap diplomasi, namun dalam berdiplomasi, Tan Malak memiliki prinsipnya sendiri, yakni diplomasi berjuang dan merebut, bukan mengemis dan meminta. Menurut Tan Malaka, diplomasi dengan berjuang dan merebut bisa ditunjukkan dengan keyakinan rakyat untuk merdeka dan dipusatkan sebagai upaya meyakinkan dunia bahwa rakyat mau dan mampu berlaku merdeka dan memiliki kehormatan. Berlawanan dengan pandangan sekutu yang mengagresi Indonesia karena menganggap Indonesia tidak aman, tidak stabil, sehingga memerlukan campur tangan asing.

Program kerja yang dirancang Tan Malaka berkaitan dengan politik selalu ditujukan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dari negara imperialis. Jika perebutan kekuasaan telah terjadi, maka langkah selanjutnya adalah tindakan untuk membangun perekonomian. Dalam Naar de Republiek Indonesia Tan Malaka menguraikan sepuluh pokok program dalam rangka membangun sendi perekonomian, yakni:

1.      Menasionalisi pabrik-pabrik dan tambang-tambang seperti tambang arang batu, timah, minyak dan tambang emas.

2.      Menasionalisi hutan-hutan dan perusahaan-perusahaan modern seperti perusahaan gula, karet, teh kopi, kina, kelapa, nila dan tapioka.

3.      Menasionalisi perusahaan-perusahaan lalulintas dan angkutan.

4.      Menasionalisi bank-bank, perusahaan-perusahaan perseorangan dan maskapai-maskapai perniagaan besar lainnya

5.      Membangun industri baru d engan bantuan negara seperti pabrik-pabrik mesin dan tekstil dan galangan pembikinan kapal.

6.      Mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan bantuan kredit yang murah dari negara.

7.      Memberikan bantuan hewan dan alat-alat kerja kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya dan mendirikan kebun-kebun percobaan negara

8.      Pemindahan penduduk besar-besaran biaya negara dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa

9.      Pembagian tanah-tanah yang tidak ditanami antara petani-petani melarat dan yang tidak mempunyai tanah dengan bantuan uang mengusahakan tanah-tanah itu

10.  Menghapuskan sisa-sisa feodal dan tanah-tanah partikelir dan membagikan yang tersebut belakangan ini kepada petani melarat dan proletar.

Perihal revolusi, Tan Malaka juga begitu mempercayai kekuatan yang dimiliki oleh rakyat, dengan catatan bahwa revolusi dipimpin oleh organisasi yang teratur dan berdisiplin dan tidak terjebak pada putch belaka. Meski senjata yang dimilliki oleh rakyat masih sangat sederhana, Tan Malaka percaya jika dilakukan dengan massif dan teratur, maka kemerdekaan yang diperoleh dengan tangan sendiri bukanlah utopia belaka.

Tan Malaka menganggap bahwa Revolusi Indonesia mempunyai dua tombak yaitu, mengusir Kapitalisme- Imperialisme dan mengikis sisa-sisa Feodalisme. Dengan kata lain Tan Malak percaya bahwaa revolusi Indonesia hatus berorientasi pada: 1). Melwaan dan mengusir imperialisme asing. 2). Menghancurkan budaya feodalisme yang telah mengungkung Indonesia jauh sebelum bangsa Belanda datang yang dianggapnya sebagai penyebab terjadinya Imperialisme di Indonesia.

Dalam konteks kemerdekaan, Tan Malaka juga sangat memegang teguh prinsipnya perihal persatuan Indonesia yang harus tetap diutamakan, meskipun harus menempuh perjuangan bersenjata. Hal ini terlihat tatkala Tan Malaka ditawari oleh Rustam Effendi untuk memproklamirkan Republik Sosialis Indonesia dengan Tan Malaka sebagai presiden yang ditolak olehnya ketika terjadi Afresi Militer Belanda kedua.[27]

Dalam memahami isi kemerdekaan pun Tan Malaka membacanya dalam segi yang sangat luas. Bukan hanya persoalan kebebasan sendiri tanpa mau mempedulikan hak orang lain. Namun, merdeka dalam artian juga menghormati kemerdekaan yang dimiliki oleh orang lain. Sehingga kemerdekaan yang dicapai, bukanlah kemerdekaan liar.[28]

Penutup

Akhir perjuangan Tan Malaka, dimulai ketika dia dibebaskan oleh pemerintah Indonesia pada saat terjadi pemberontakan PKI/FDR di Madiun pada 1948. Pada saat itu, pemerintah berfikiran bahwa untuk menandingi pemberontakan kelompok kiri, dibutuhkan kekuatan kelompok kiri lain. Dalam konteks ini adalah Tan Malaka dan para pemimpin Persatuan Perjuangan yang sempat ditahan pada 1946. Dalam hal ini, Tan Malaka menolak bahwa dirinya dipakai oleh pemerintah untuk memadamkan pemberontakan FDR.[29]

Meski demikian, Tan Malaka tetap membantu pemerintah menghancurkan pemberontakan FDR yang dianggapnya hanya sebagai putch belaka. Banyak pula pengikutnya yang membantu, seperti Mayor Sabaruddin yang pada kemudian hari menjadi pengawal Tan Malaka selama beroperasi di Jawa Timur hingga akhir hayatnya pada 21 Februari 1949.

Setelah dilepaskan pun, Tan Malaka masih sempat mendirikan Partai Murba yang merupakan peleburan dari berbagai partai kiri yang ada dengan tujuan untuk mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan 100% bagi republik dan rakyat sesuai dengan dasar dan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945 menuju masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia dan berasaskan anti fasisme, anti imperialisme, dan anti kapitalisme.

Bahkan dia sempat mengingatkan Tan Malaka perihal kemungkinan agresi Belanda. Namun, pemerintah bergeming dan masih mengharapkan bantuan PBB sebagai penengah perseteruan antara Indonesia yang masih muda dan Belanda. Ketika agresi terjadi, Tan Malaka masih memilih untuk melanjutkan perlawanan di Kediri. Bahkan, dalam salah satu pidatonya denga lantang Tan Malaka dengan lantang menyatakan untuk tidak percaya terhadap barat dan kemerdekaan hanya bisa dicapai lewat peperangan.

*Ketua PMII Rayon Ushuluddin 2013-2014, Koord. Dep. Sospol PMII Kom. Walisongo 2014-2015, Ketua II PMII Cabang Kota Semarang 2016-2017, Balapikir KSMW, pegiat di ideastudies



[1]Disampaikan dalam Sekolah Pemikir oleh PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang, Jumat, 9 Maret 2016 di Yayasan Sultan Trenggono, Gunungpati

[2] G30S 1965 adalah tragedi pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan satu perwiraa menengah di Jakarta yang dilakuka oleh Pasukan Cakrabirawa pimpinan Kolonel Untung. Soekarno menyebut tragedi ini dengan nama Gestok (Gerakan Satu Oktober) karena terjadi pada 1 Oktober dini hari.

[3]Wasid Susilo, Mewarisi Gagasan Tan Malaka, Jakarta, LPPM Tan Malaka, 2006, h. 29

[4]Taufik Andi Susilo, Tan Malaka, Biografi Singkat, Jogjakarta, Garasi, 2008, h. 15

[5]Harry Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, h. xvi

[6]Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, h. 79

[7]Intelektual organik adalah istilah yang dipereknalkan oleh Antinio Gramsci, soerang filsuf marxis berkebangsaan Italia. Secara sederhana, Gramsci menggambarkan intelektual organik sebagai seorang intelektual yang memiliki kemampuan aktor aan organisator politik mewaakili kelasnya, dan bertujuan melakukan perubahan sosial bagi kelasnya. (lebih lanjut baca Nizar patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta, Pustka Pelajar, 2003, h. 156)

[8]Safrial Rambe, Pemikian Politik Tan Malaka, Kajian Tehadap Perjuangan “Sang Kiri Nasionalis”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, h. 24-25

[9] Lebih lengkap lihat Tan Malaka, Soviet atau parlemen,bisa diakses dihttp://www.marxis.org

[10] Lebih lengkap  lihat Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs, bisa diakses di http://www.marxist.org

[11]Pengangkatan Tan Malaka sebagai ketua PKI disebabkan karena tidak adanya sosok pemimpin setelah Semaun diasingkan dan Darsono sedang melaksanakan tugas di Moskow. Tan Malaka sendiri sempat mengungkapkan keberatannya namun tak berdaya setelah suara mayoritas menunjuknya sebagai ketua PKI (lihat: Dari Penjara ke Penjara, h. 74)

[12] Exorbitante Rechten adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Gubernur Jendral Hindia untuk menangkap dan membuang orang yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan di wilayah kekuasannya tanpa melalui proses pengadilan.

[13] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, Komunisme dan pan Islamisme, bisa diakses di http://www.marxist.org

[14] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, bisa diakses di http://www.marxist.org

[15] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, Massa Aksi, bisa diakses di http://www.marxist.org

[16] Putch adalah  suatu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu biasanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri dengan tidak memperdulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya dengan tidak memperhitungkan lebih dulu, apakah saat untuk ber-massa aksi sudah matang atau belum. Dia menyangka, bahwa semua lamunannya tentang massa benar sama sekali. Dia lupa atau tidak mau tahu bahwa massa hanya dengan berturut-turut dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern) dan pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi-buta. “tukang-tukang putch” lupa, bahwa saat revolusi yakni apabila massa aksi berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan “berbulanbulan” lebih dulu, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh seorang “tukang tenung”. Lebih lengkap baca, Aksi Massa, h. 120-121

[17] Safrijal rambe, Tan Malaka..., h. 35

[18] Lebih lengkap baca Helen Jarvis, Tan Malaka, Pejuang Revolusioner, Atau Manusi Murtad?, terj. Wasid Suwarto, Jakarta, Yayasan Massa, 1987, h. 57-58

[19]  Selama di Banten, Tan Malaka beberapa kali bertemu dengan BM. Diah untuk membincang masalah kemerdekaan karena melihat kondisi Jepang yang telah kalah dari sekutu.

[20] Keberadaan Tan Malak di Jakarta baru bisaa dikonfirmasi setelah pada 14 Agustus dia menemui Soekarni yang merupkan pengikut Ide-ide Tan Malaka. Sehingga ada kemungkina, bahwa rapat-rapat pemuda yang terjadi sebelum proklamasi mendapat banyak gagasan dari Tan Malaka yang masih menggunakan nama Ilyas Hussein.

[21] Lebih lengkap baca Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara, lihat juga Safrijla Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka, h. 40-41

[22] Lebih lengkap, baca Majalah Historia No. 18 tahun II, 2014

[23] Saat itu Tan Malaka adalah wakil Komintern untuk Asia Tenggara, sehingga wajar jika program-programnya tertuama ditujukan untuk PKI. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, seluruh program itu tertuju pada kemerdekaaan Indonesia

[24] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, h. 24

[25]  Harry Poeze, Tan Malaka..., h. 218

[26] Lebih lanjut, baca Tan Malak, Muslihat, bisa diakses di http://www.marxist.org

[27] Safrijal rambe, Pemikiran, h. 53

[28] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, iPolitik, bisa diakses di http://www.marxist.org

[29] Lebih lanjut, baca Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, dalam pengantar


Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama