Penjara di Mata Seekor Kucing

Judul Buku : Angin Musim
Pengarang : H. Mahbub Djunaidi
Penerbit    : Inti Idayu Press
Tahun Terbit : Cet. 1, 1985
Halaman   : 176 halaman
Resensator : Nanang Bagus Zuliadi*

Satu lagi karya monumental H Mahbub Djunaidi adalah Angin Musim. Sebuah novel sastra pasca era kemerdekaan yang sangat kompleks, baik dari sisi alur maupun pemikiraannya. Dalam novel ini Mahbub berusaha menyuguhkan kepada para pembaca akan persoalan zamannya disertai latar suasana yang terbentuk. Mahbub kali ini menunjukkkan sisi sastrawannya kepada pembaca.

Mahbub yang juga seorang politikus membutikan bahwa persoalan pelik macam politik dan hukum dapat dikupas dan disuguhkan dengan bahasa sastra yang relatif mudah dipahami, terutama oleh rakyat awam. John F Kennedy pernah berkata “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Dalam hal ini Mahbub membuktikan satu hal tambahan yang mungkin lupa disebutkan oleh Kennedy, yaitu; “Jika politik itu rumit, maka sastra akan menyederhanakannya”.

Novel Angin Musim pertama kali diterbitkan pada tahun 1985 oleh penerbit PT. Inti Idayu Press yang berada dibawah naungan Yayasan Idayu Jakarta. Dalam perjalanannya, novel ini dicetak kembali untuk kedua kalinya pada tahun 2018 oleh penerbit Diva Press.

Mengambil tokoh utama seekor kucing betina, novel ini ingin bercerita perihal dinamika tempat rehabilitasi yang sering disebut penjara atau sel tahanan. Dari sudut manapun, penjara yang dilihat dengan kacamata seekor kucing adalah satu hal yang menarik dan jarang ditemui. Hal inilah yang kemudian membuatnya khas dan memiliki nilai estetis tersendiri.

Diawal, novel ini menceritakan asal muasal masuknya seekor kucing ke dalam sebuah penjara. Kejadian ini bermula dari pasar tempat si kucing biasanya berkeliaran. Si kucing yang tak memiliki salah pasti itu dipertemukan dengan pegawai pemerintah sehabis berbelanja. Tak butuh waktu panjang, si kucing sudah berada dalam karung untuk kemudian dibawa ke penjara di suatu tempat.

Sesampainya di penjara baru diketahui bahwa motif pegawai pemerintah membawa si kucing ke tempat tersebut adalah membasmi hama tikus yang kerapkali mengganggu banyak pihak. Darisana mulailah kehidupan baru si kucing dalam sel tahanan, bersahabat dengan manusia serta beberapa hewan lain yang telah lebih dulu berada disana.

Persahabatan cukup intim terjalin antara si kucing dengan beberapa manusia penghuni sel tahanan tersebut. Pertama; Pak Ahmad Darul Kutni, seorang bekas kepala jawatan kereta api yang syarat pengalaman. Orangnya pendiam, berbadan sempit dengan batang hidung yang hampir datar. Kedua; Pak Suryodiharjo, mantan Brigadir Jendral yang memiliki kedudukan terhormat di lingkungan awalnya, lengkap dengan gemerlapan bintang di pundaknya. Ketiga; Pak Max Karboni, seorang mantan wartawan. Keempat; Pak Maruto alias Petruk alias Kelana Derita, bekas seorang penyair.

Lewat persahabatannya dengan bangsa manusia, si kucing berhasil menangkap banyak realita yang tak diketahui sebelumnya. Realitas pertama yang dapat ditangkap oleh si kucing berbekal sedikit nalar dan logikanya adalah bagaimana begitu banyak bangsa manusia yang masuk ke sel tahanan tanpa kesalahan yang jelas.

Hak Asasi yang selama ini hanya menjadi pembahasan di dunia manusia, dalam novel ini digeser sedikit ke dunia kucing. Si kucing melihat bahwa satu kesalahan yang memungkinkan untuk dijadikan alasan masuknya bangsa manusia ke dalam sel tahanan tersebut adalah “kesalahan politik”, tentang apa dan bagaimana itu “kesalahan politik” hanya manusia yang tau detailnya. Dan tentunya, hal itu secara tersirat telah menyalahi hak asasi yang sering didengungkan.

Bangsa manusia yang dibekali kepala dan nalar lebih besar ternyata berimbas pada masalah yang juga tak dapat dikatakan kecil. Lamanya bangsa manusia menghuni sel tahanan menjadikan polemik dalam internal keluarga mereka. Begitu banyak kaum pria bangsa manusia yang ditinggal anak dan istrinya dengan alasan variatif yang intinya mengarah pada tidak adanya penanggung nafkah keluarga di rumah selama mereka mendekam dalam sel tahanan.

Berbeda dengan kucing yang tak terlalu memusingkan keluarga masing-masing. Persoalan nafkah tinggal mengeong kesana kemari berharap pada kebaikan penghuni sel tahanan yang melemparkan kepala ikan asin. Jika tak ada, harapan masih terbuka lebar dalam perburuan tikus dan kroni-kroninya.

Permasalahan internal keluarga bangsa manusia memang cukup memprihatinkan. Namun ada satu hal lain yang juga tak kalah memprihatinkan dalam dinamika sel tahanan, yaitu kehidupan yang monoton. Sehari-harinya hanya diisi dengan tidur, makan, minum, berbincang sana sini tak jelas, lalu kembali tidur. Begitulah rotasi kehidupan membosankan dalam sel tahanan.

Tak ada hiburan yang kiranya dapat membuat otak kembali fresh, kecuali penghuni sel tahanan sendiri yang menginiasinya, itupun hanya bertahan dalam hitungan jam. Setelahnya, tak pelak kebosanan akan kembali menghampiri.

Ambil contoh Pak Maruto alias Petruk alias Kelana Derita yang seorang penyair. Diwaktu waktu tertentu untuk mengusir kebosanan, ia menjerit-jerit tak jelas meneriakkan syair-syairnya atau sesekali melukis apapun yang lewat di depannya dengan alat ala kadar.

Puncak cerita sendu dalam novel ini ada pada bab tiga belas (hal;88), yang mengambil latar belakang upacara kemerdekaan dalam sel tahanan. Semua penghuni sel tahanan berbaris rapi dikomandoi oleh komandan penjara. Para penghuni sel tahanan mengikuti seluruh teknis seremonial upacara, sampai pada rangkaian terakhir yaitu amanat dari komandan upacara.

Ketika amanat berlangsung, hampir semua bangsa manusia menunduk lesu. Hal ini tentu dikarenakan kesedihan mereka yang hidup di negara merdeka tapi belum sepenuhnya mendapatkan hak kemerdekaannya.

Selain menggambarkan suasana dan dinamika manusia dalam sel tahanan, novel ini juga menyinggung sisi lain dari kehidupan seekor kucing. Drama percintaan antara kucing betina dan jantannya pun tak luput disuguhkan. Yang menarik adalah bagaimana gerombolan kucing dapat berlogika dan bermusyawarah sedemikian rupa untuk menyikapi musyawarah tikus yang lebih dulu terlaksana. (lihat bab enam belas, hal;122)

Pokok dari semua yang ada dalam novel ini adalah bagaimana Mahbjub Djunaidi mampu menyuguhkan dan mengemas dengan baik seluruh konflik serta dinamika yang ada dalam sebuah penjara dengan gaya sastra yang syarat akan nilai estetis. Kreativitas semacam ini membantu pembaca menghayati cerita.

Sebuah nilai plus dalam novel ini ada pada kemampuan seorang Mahbub Djunaidi yang memaksa pembaca untuk ikut masuk dalam alur cerita. Sehingga pembaca memahami dengan hati dan perasaan seluruh konflik serta dinamika yang disuguhkan.

Satu yang menjadi titik lemah novel ini terletak pada beberapa diksi maupun bahasa yang masih menggunakan ejaan lama. Hal ini tentu akan menyulitkan pembaca yang tak biasa dengan ejaan lama. Selain itu, penyajian tulisan yang terlalu rapat juga menggangu pembaca dalam proses membaca dan memahami.

Namun secara umum, novel ini layak dibaca dan dipahami oleh seluruh kalangan. Guna mengasah rasa dan kepekaan kita terhadap seluruh realitas yang lewat di depan kita. Selamat membaca!

*Penulis adalah Kordinator Biro Media & Penulisan PMII Rashul 2018/2019
*Resensi diatas pernah dimuat di Minerva.id

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama