Stres : Strength to Survive, Sebuah Sinyal Kebangkitan

source: freepik.com

Memasuki bulan kesekian di masa pandemi, pernahkah suatu waktu mengalami kejenuhan, deadline berantakan, banyak beban, tekanan dan pikiran dari kanan kiri yang membuat diri sendiri berada pada titik yang biasa disebut ‘stres’? Jika pernah, lantas apa sekilas pandang yang terlintas dalam pikiran jika mendengar kata ‘stres’? apakah stres itu adalah sesuatu yang harus dihindari, dihilangkan jauh-jauh, dan segala tentangnya adalah hal yang negatif cuma merugikan? 

Menurut pendapat Sarafino (1994), stres merupakan suatu kondisi yang muncul ketika individu berhubungan dengan lingkungannya, dan merasakan ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan situasional dengan sumber daya biologis, psikologis, maupun sosial yang dimilikinya. Stres pada dasarnya adalah respon ilmiah tubuh terhadap beban fisik maupun mental yang berlebihan, yang kemudian dapat menimbulkan keseimbangan fisik dan emosi bergeser. Ketidakstabilan kondisi yang timbul antara fisik dan emosi manusia pada taraf ini dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif baik bagi pola pikir maupun perasaan.

Kondisi stres sendiri dapat timbul dari faktor yang beragam, menurut Profesor L. Levy dari Swedia, penyebab stres dalam kehidupan sehari-hari yang didefinisikan oleh psikologis medis bisa terjadi karena tuntutan menekan dari pelbagai situasi hidup, perubahan keadaan yang tidak diantisipasi secara tiba-tiba (ketidakpastian), dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru karena perbedaan antara harapan dan realitas. 

Stres dalam Pandangan Masyarakat


Membicarakan tentang stres, belakangan ini stres menjadi sebuah kata yang berkonotasi negatif, bahkan sering menjadi momok terkhusus bagi orang-orang yang mengalami masa-masa krisis dalam hidupnya. Lebih parahnya lagi, social construct yang terbentuk secara berkala ini didukung dengan mitos-mitos yang bermunculan dan dipublikasi media online, sehingga bukan menjadi hal yang aneh apabila stres mendapat stigma dikalangan masyarakat. Padahal, mayoritas orang yang beranggapan demikian secara tidak langsung telah mereduksi kehadiran stres yang sebetulnya adalah salah satu kebutuhan bagi manusia.

Stres sebagai Kebutuhan


Mengapa stres dapat dikatakan sebagai kebutuhan manusia? Tak dapat dipungkiri, stres adalah bagian dari setiap episode kehidupan manusia. Walaupun kedengarannya kontradiktif, pada realitanya setiap dari fase yang dialami dalam kehidupan manusia, sudah tentu pernah mengalami kondisi stres.

Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya jika terlebih dahulu menilik ke masa nenek moyang, di mana segala sesuatu belum terbentuk secara sempurna. Apabila orang-orang pada zaman dahulu belum pernah mengalami stres, sudah pasti mereka tidak dapat bertahan hidup. Sedangkan ketika itu zaman masih begitu primitif, di mana juga belum ditemukan ilmu pengetahuan maupun teknologi secanggih sekarang. Lalu bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Yap, karena adanya stres.

Stres sejatinya adalah sebuah mekanisme bertahan hidup yang dikembangkan secara biologis sejak zaman nenek moyang. Di mana ketika sistem stres ini teraktivasi, maka hormon stres (kortisol), adrenalin dan non adrenalin akan berkolaborasi dan membuat seseorang akan berbuat sesuatu (stress response). Hal itulah yang kemudian mendorong manusia untuk melakukan eksplorasi agar dapat bertahan hidup. Dan karena adanya kondisi stres pula nenek moyang pada zaman dahulu mampu mengatasi persoalan-persoalan yang sudah tentu taruhannya adalah nyawa, seperti menemukan strategi berburu untuk mendapatkan makanan, menghindar dari ancaman predator dan binatang buas, serta masih banyak lagi.

Seperti halnya yang dialami di masa sekarang, walaupun perasaan terancam dan hal-hal yang menantang itu berwujud pada bentuk yang lain (tidak se-ekstrem orang-orang pada zaman dahulu) tetapi tentu yang dipikirkan tak jauh beda, problematika kehidupan. Nah, disinilah peran stres yang kemudian menjadi sebuah sinyal perasaan tidak nyaman yang sebetulnya dapat menjadi sebuah pendorong seseorang untuk menghindari ancaman dan melindungi diri dari bahaya dengan menghadapi masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang membuat seseorang bertumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Mengapa demikian? Pada dasarnya, perasaan tidak nyaman yang dirasakan tersebut mampu mendorong seseorang untuk berusaha mengupayakan dirinya agar dapat menyelesaikan masalah. Disinilah titik peluang stres dapat memiliki nilai positif, yakni ketika hal ini menjadi peluang dan menawarkan potensi hasil.

Para peneliti berpendapat bahwa stres bisa menjadi sesuatu yang negatif (distress) bahkan juga positif (eustress). Distress adalah jenis stres yang mendapat reaksi (respon) negatif dan berpotensi menjadi gejala gangguan kesehatan yang membahayakan fisik maupun mental seseorang, sehingga memberikan efek tertekan (merasa terbebani, tidak nyaman, jenuh) bagi pelakunya. 

Sedangkan Eustress adalah stres yang memberikan efek menyenangkan (menikmati tantangan, termotivasi) kepada pelakunya,. Pernyataan ini bergantung pada stres response yang dialami setiap individu dan stressability dalam hidupnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana cara mengelola stres agar tidak terjerumus pada distress dan dapat memanfaatkan eustress untuk menghasilkan keuntungan?

Tips Mengatasi Stres


Ketika sedang mengalami stres, langkah paling utama yang harus dilakukan adalah self-affirmation, masa di mana seseorang harus menerima apa yang dirasakannya, menyadari bahwa dirinya sedang stres. Setelah itu, mencari tahu penyebab yang menimbulkan stres pada diri dengan menganalisa masalah yang sedang dihadapinya. Dengan mengetahui akar masalah yang menyebabkan stres, barulah kemudian seseorang perlu mengubah mindset bahwa sebenarnya stres merupakan hal yang wajar, dan semua orang tentu akan mengalaminya.

Step berikutnya adalah mencari titik temu antara penyebab dan problem solving melalui analisa strategi yang tepat untuk menghadapi sebuah persoalan. step ini yang dapat dikatakan sebagai sebuah ikhtiar masing-masing individu dalam menghadapi masalahnya. Seseorang sudah sepatutnya menjadikan cara ini (ikhtiar) sebagai suatu jalan untuk dapat meng-upgrade kapasitas dirinya menuju kenaikan level yang lebih tinggi. Dan seperti yang telah banyak diketahui, kenaikan level tentu disertai dengan tingkat kesulitan kadar tantangan yang harus dihadapi.

Pastinya hal ini tidaklah mudah, perlu proses dan latihan untuk dapat mengkonter diri agar mampu menjadi lebih adaptable dalam setiap kondisi dan situasi. Namun, justru disinilah value-nya. Semakin sering seseorang berusaha untuk menjadikan masa sulitnya dengan memperbanyak ikhtiar, memaksimalkan daya dan upaya dalam menghadapinya, maka semakin meningkat strength (kekuatan) yang dimiliki seseorang untuk dapat survive (bertahan hidup). Jadi, bagaimana? Masih tetap ingin menjadikan distres sebagai tameng dari kelemahan dan ketidaksanggupan mengatasi realita, atau memanfaatkan eustress sebagai kekuatan untuk bangkit menghadapinya?

Please remember, adopting the right attitude can convert a negative stress into a positive one.” - Hans Selye

Person Elviana Feby Dwi Jayanti

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama