Topeng Perek

Jairo Alzate on Unsplash

Seperti biasa, sepagi ini jalanan Kota Jakarta padat dipenuhi kendaraan pekerja. Tak jarang ditemui jalanan yang macet, suara klakson yang berlomba-lomba menunjukan eksitensinya. Bukannya apa, mereka hanya tak sabar dan tak mau tau apa yang terjadi di depan sana. Sibuk memikirkan urusan mereka masing-masing. Padahal, jauh di depan sana, seorang perempuan dengan wajah bersimbah darah tergeletak di atas aspal. Entah dia masih bernyawa atau tidak, matanya sayu tertutup oleh darah yang keluar dari kepalanya. Lihatlah, tak ada tanda kehidupan sedikitpun disana. Kecuali Tuhan masih memberinya kesempatan untuk kembali berperang dengan dunia.

Suara Ambulan terdengar dari kejauhan, suaranya merayap semakin dekat dengan wanita cantik itu. Kendaraan yang tadinya bising membunyikan kelakson mulai sadar akan keadaan yang terjadi jauh di depan sana. Tangan mereka tak usil menekan klakson kendaraan mereka masing-masing. Mereka tau, ambulan pertanda bahaya, pertanda ada yang tidak baik-baik saja.

Entah beberapa jam menunggu kemacetan jalan kota itu, akhirnya kendaraan yang sedari tadi kegerahan menahan laju, Kembali berjalan menuju tempat tujuannya masing-masing. Masih ada bekas darah di jalan itu, berkurang sedikit demi sedikit terkena ban mobil atau montor yang melintasinya. Lalu, bagaimana dengan wanita itu?

Pukul 23:47

Wanita cantik korban kecelakaan tabrak lari terlihat siuman, mata bulatnya mengerjap-ngerjap menatap ruangan sebesar 5 kali 7 meter itu. Dalam keadaan pucat saja, wajahnya masih terlihat indah, perpaduan yang elok dari mata bulat dan bulu mata lentik miliknya, pula dari bibir tipis kecilnya dan bentuk wajah yang membius setiap orang yang melihatnya. Namun sayang sekali, nampaknya goresan aspal di pipi kanannya terlalu dalam, membuat pipi sebelah kanannya itu harus dibungkus dengan perban.

Tangannya merapa-raba, mencari tau setiap detail rasa sakit di sekujur tubuhnya. Hingga tangan lentiknya itu terhenti di perpan pipi kananya. Iya mematung, pikirannya kacau, otaknya bising menerka kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelahnya. Benar saja, matanya benar berkaca-kaca, satu demi satu tetes air jatuh di pipinya. Tidak ada suara tangis, bibirnya bungkam, badannya mematung. Tapi matanya berbicara bertapa sedihnya dia harus berjalan setelah kejadian ini. Bagaimana aku bertahan hidup dengan wajah seperti ini? Batinnya dalam hati.

Terdengar suara ketukan pintu, tak lama kemudian seorang pegawai rumah sakit muncul dari balik pintu itu. Rara, wanita cantik di ranjang rumah sakit tadi buru-buru menghapus air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah oleh siapapun.

“Maaf kak, karena tidak ada satu keluarga pun yang bisa dihubungi oleh pihak rumah sakit, maka tagihan adminitrasi rumah sakit kami serahkan kembali kepada anda.” Petugas itu menyodorkan map berisi beberapa lembar kertas adminitrasi “Terima kasih kak” sambung petugas itu.

Rara memandang petugas itu angkuh, tersenyum miring “Iya nanti saya bayar lunas tagihan rumah sakit ini” ucap Rara.

Petugas itu pun pergi meninggalkan Rara sendirian di kamar dan kepala Rara Kembali bising. Penuh oleh pikiran-pikiran yang mendebat dirinya sendiri. Tuhan kali ini aku tak punya pilihan, batinnya. Hidup ini keras sekali bukan? Kita selalu dihadapkan oleh banyak pilihan. Termasuk Rara, sudah berpuluh-puluh kali dia berpikir bahwa mungkin lebih baik hidupnya berakhir saja. Tak ada gunanya dia hidup sebagai sampah di dunia ini. Tapi dia sadar, semenjijikan apapun sampah itu, dia tetap bisa berguna bagi orang lain, di tempat yang lain.

Dia hanyalah seorang wanita jalang. Mencari uang dari kepuasan nafsu laki-laki biadap. Sederhana saja memang, dengan wajah cantiknya dia tak perlu susah payah mencari pelanggan. Bagaikan gula, semut berebut menikmati rasa manisnya. Tak perduli berapa banyak pasang mata yang membencinya, memaki keberadaannya, mengutuk hidupnya dan bertingkah seolah-olah menjadi Tuhan yang menghakiminya, dia selalu menerima semuanya dengan lapang dada.

Mau bagaimana lagi? dia tetap melakukan pekerjaan itu. Bukan! Sungguh bukan karna dia menyukai pekerjaan itu. Tapi dia tak punya pilihan lain, dia hidup sebatang kara. Orang tuanya meninggal saat dia berumur 17 tahun. Hartanya dikuras abis oleh polisi karna bapaknya seorang koruptor. Dan naasnya lagi, saat jeruji kepedihan merengkuh hidupnya, dia diperkosa oleh lelaki bejat yang tak tau diri. Rara, gadis manja yang tak tau apa-apa itu tak bisa mengelak di dekap lengan gagah milik lelaki bejat itu.

Dari hal itulah, dia hancur tak punya arah. Terombang-ambing masalah, dan akhirnya tenggelam di dasar gelapnya kehidupan. Saat itu Rara buntu, hatinya tercabik-cabik kenyataan. Bukan karna beberapa hari ini dia hanya makan nasi bekas dari kotak sampah organic milik penjabat. Tapi lebih karena dia tak mau ada dia lain di dunia ini. Ada rasa sakit yang terlahir lebih pedih seperti miliknya. Karena itu, tepat saat umurnya menginjak 19 tahun, dia memilih jalan haram, jalan yang dibenci semua orang, jalan yang dilarang agama yang dipercayainya dan jalan dimana dia harus siap menjadi manusia sampah di bumi ini. Meskipun begitu, satu hal yang tetap diyakininya “Tuhan tau untuk apa dia melakukan itu, dan Tuhan pun tau, dia menjadi sekotor itu demi sebuah kemanusiaan yang diajarkan Tuhan”.

Entah sudah berapa hari Rara mendekap di Ruangan berbau obat itu, akhirnya dia diperbolehkan pulang oleh dokter rumah sakit tersebut. Dengan sisa uang tabungannya yang semakin menipis, Rara berjalan terserok-serok menuju pangkalan ojek dekat rumah sakit yang di tempatinya. Ia sudah rindu sekali dengan anak-anak panti. Pasti mereka menunggu Rara sejak beberapa hari lalu.

Iya, setelah beberapa bulan Rara memulai pekerjaannya, dia mendapatkan uang yang cukup untuk membangun cita-citanya, yakni mendirikan panti asuhan untuk anak-anak jalanan yang bernasip sepertinya dulu. Rara mengumpulkan anak jalanan yang tak punya tempat tinggal, yang tak punya tujuan, dan akhirnya dikumpulkan dalam satu tempat miliknya. Sudah hampir 4 tahun ini, dia bersama temannya Aisyah mengurus anak-anak itu. Aisyah, bertugas mengajar dan Rara yang bertugas mencari uang untuk kehidupan mereka, walaupun mereka semua tidak pernah tau uang dari pekerjaan apa yang Rara berikan.

“Mau kemana neng? Biar saya antar?” suara tukang ojek pangkalan itu membuyarkan lamumnan Rara.

“Oh iya pak ke Jalan Jendral Sudirman ya pak blok 33” Rara tersenyum ramah, sayang sekali lesung pipi manisnya harus tertutup perban.

Butuh waktu sekitar 30 menit hingga Rara tiba di gang sempit untuk masuk ke Panti Asuhan miliknya, Setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dan berterimakasih kepada tukang ojek tadi, Rara berjalan melewati gang sempit ke Panti Asuhan itu dan benar saja, saat Rara tiba di depan rumah sekaligus Panti Asuhannya Rara disambut oleh anak-anak pantinya juga Aisyah. Mereka saling berpelukan, dan Rara dibanjiri oleh pertanyaan mereka. Kak Rara dari mana? Kenapa wajah Kak Rara diperban? Kenapa lama sekali tidak pulang? Kenpa kak Rara tidak memberikan kabar? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, Rara hanya membisu. Bungkam tanpa jawaban.
(Leni)

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama