Sebagaimana Cinta, Intelektualitas Harus diperjuangkan



“Dari gunung arus air deras mengalir, dari tubuh kita jiwa pun bergerak karena ilham cinta” (Jalaludin Rumi). 

Manusia memang tidak pernah merencanakan akan lahir di dunia ini. Ia juga tak memilih akan bernasib dari keluarga siapa, di mana, dan atribut previlege seperti apa yang akan ia dapatkan. Akan tetapi, di sisi lain kualitas hidup manusia sebenarnya ditinjau dengan seiring perjalanan kehidupannya yang secara sadar menyaksikan hamparan fenomena, tumpang tindih siklus kehidupan, yang secara langsung merangsang otak dan mengolahnya menjadi pengetahuan. Dari sinilah dapat kita mengklasifikasikan perbedaan sikap yang diambil oleh seseorang dipengaruhi oleh tingkat intelektual yang dimilikinya.

Dalam Islam sendiri, manusia dikenalkan dengan istilah Ulul Albab yang mana dalam Al-Qur'an telah disebutkan sebanyak 16 kali. Klasifikasi utama manusia yang menyandang sebutan tersebut ialah orang yang selalu berdzikir lagi berfikir atas segala pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia selalu menemukan ilmu dan hikmah yang menjadi landasannya dalam bersikap. Sudah tiada keraguan pula, meskipun ia sedang mengalami diskriminasi di tengah pusaran pandangan mayoritas yang cenderung kabur dari kebenaran. Sehingga memang itulah pilihannya, menjadi individu yang terhegemoni atau menjadi individu yang merdeka dalam kesadarannya. Sebagaimana pada (QS. Al Isra’ :81) 

وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Bahwa kebenaran pada akhirnya pasti datang dan kebathilan akan lenyap.”

Tentu dalam konteks tulisan ini, persoalan tersebut bukanlah hal yang mesti disepelekan. Apalagi pada zaman sekarang, kita dihadapkan pada wujudnya manusia-manusia ajaib. Bagaimana tidak, tanpa alat bantu akal untuk menganalisis sekalipun, dewasa ini jari-jemari manusia lebih lihai dalam merespon situasi yang mengelilinginya. Saya kira, budaya membaca warta atau paradigma dengan tuntas sudah menjadi hal yang tabu lagi melelahkan bagi khalayak orang. Mereka mendadak menjadi pengamat tanpa landasan pengetahuan, lebih senang untuk mencomot berita sepotong-sepotong yang dianggap memenangkan pandangannya. 

Memang harus diakui pula, bahwa kecepatan perkembangan teknologi menstimulus tumbuh kembang emosional dan obsesi manusia bertambah berkali-kali lipat. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan merosotnya moral dan budaya konsumtif yang tidak terbendung. Mungkin sudah tidak zamannya lagi berbincang santai dengan teman membahas kenangan masa lalu, menanyakan kabar.  Justru berbalik membahas “gadget-mu merek apa? Berapa harga bajumu? Apa pencapaian mu?” dan lainnya. Uraian tersebut mengisyaratkan gambaran psikologi manusia yang tidak lagi mengenalinya dirinya. Mereka me-redesain kehidupan menurut dengan obsesi terliar mereka.

Ada sebuah cerita epik Hindu Bhagavadgita yang mengisahkan terjadinya perang saudara (Baratayudha) yang mematikan. Arjuna yang melihat teman dekatnya, kerabatnya berada di pasukan lawan, membuatnya mengalami keraguan untuk memerangi mereka. Pada kebimbangan, Arjuna mulai bertanya apa tindakan tersebut baik atau jahat? Apa sebenarnya tujuan hidup manusia?

Dewa Krisna menjelaskan bahwa dalam siklus kehidupan kosmik, masing–masing memiliki “dharma” yang unik. Yakni suatu jalan yang harus diikuti dan tugas yang harus dipenuhi. Selanjutnya, ketika Arjuna memahami dharmanya sebagai pejuang, dia yakin untuk memerangi semua lawannya dalam meraih kemenangan, hingga menjadi seorang pahlawan yang dihormati dan legendaris di umat Hindu.

Berdasarkan kisah tersebut yang ingin penulis sampaikan ialah ketika manusia menyadari ”dharma” atau tugas dan potensinya, manusia akan menikmati segala perjalanan kehidupan dengan bahagia meskipun melewati jalan yang terjal. Sebagaimana dalam agama Islam kita mengetahui bahwa tujuan manusia diturunkan di muka bumi adalah menjadi khalifah (pengelola) bumi. Sehingga dalam konteks tulisan ini, manusia dibekali akal untuk mengungguli nafsu, dibekali jiwa rasional untuk mengalahkan unsur hayawaniah-nya. (dalam filsafat manusia Ibn A’raby hal tersebut adalah cara memperoleh Nur Tuhan atau hakikat ilmu secara langsung).

Dalam suatu forum diskusi yang berada di santrendelik, daerah Gunung Pati Semarang, Habib Anis Sholeh Ba’asyin pernah menyampaikan, bahwa dewasa ini ada beberapa model sikap kecerdasan manusia. Pertama, beliau menggambarkan seperti terjadinya gerhana matahari (ketika posisi bulan berada ditengah bumi dan matahari). Yakni manusia yang memperoleh pengetahuan bersumber dari pelajaran dan pengajar yang kurang tepat. Sehingga identik dengan terjadinya peng-kultusan-tokoh atau figur. 

Maka ketika mengalami itu, manusia (sebagaimana suasana gerhana matahari) berada dalam posisi remang-remang, dalam artian tidak punya pisau analisis yang jelas dalam merespon sesuatu, ia hanya mengakui satu kebenaran tunggal dari idolanya. 

Kedua, beliau menggambarkan seperti terjadinya gerhana bulan (di mana bumi berada di tengah antara matahari dan bulan). Yakni manusia hawa nafsunya memuncak dalam dirinya. Ia lebih memilih bersikap apatis terhadap apapun, asalkan kepuasan hawaniyah telah terpenuhi. Maka ketika itu, manusia berada dalam gelap gulita, tidak ada celah cahaya yang masuk dalam dirinya. Pada akhirnya, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mengutip (QS. An-Nisa’: 95):

 لَّا يَسْتَوِى ٱلْقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُو۟لِى ٱلضَّرَرِ وَٱلْمُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atau orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (QS. An-Nisa’: 95)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa sungguh berbeda derajat orang mukmin yang mau ikut berjihad dalam jalan Allah dengan yang hanya duduk berpangku tangan, padahal ia tidak mempunyai udzur yang dibenarkan. M. Quraish Shihab menguraikan maksud orang yang berjihad bukanlah arti sempit pada perilaku fisik, namun orang yang secara sadar mengorbankan kemampuan atau potensinya untuk memenuhi kewajiban dalam kemaslahatan umum.

Maka dengan memaksimalkan kecerdasan (intelektualitas), manusia secara tidak langsung telah menyempurnakan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Sebagaimana seorang hamba yang bertanggung jawab penuh atas segala nikmat-Nya.

Wallahua’lamu bishowab.

Oleh: Ahmad Mahmud Al Hamidy

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama