Muhammad dan Marx Dalam Sosialisme

 

ilustrasi dari gerakan perlawanan dari penindasan
(Sumber: vstory)

Eksploitasi ekonomi, perampasan hak, dan perbudakan telah memberikan dampak berupa stratifikasi sosial yang jauh dari kata adil. Secara terstruktur, kapitalis telah menindas golongan yang lebih rendah. Mereka memanfaatkan golongan ini untuk memupuk keuntungan bagi diri mereka sendiri. Sehingga, kemiskinan ikut terbentuk dan terstruktur, hal ini kian marak dan tak pernah reda dari waktu ke waktu.

Dalam konteks sosialisme khususnya dalam khasanah literatur pemikiran Islam, ajaran sosialisme dipandang sebagai ajaran yang bersumber dari pengaruh asing, dalam hal ini adalah Barat. Selanjutnya, hal ini dipahami sebagai pokok utama dalam pembentukan struktur sosial kemasyarakatan yang berkeadilan dan jauh dari kata penindasan. Sebagaimana disampaikan oleh Herbert Feith dan Lance Castles ketika membahas tentang arus pemikiran politik di Indonesia, mereka menyatakan bahwa ajaran ini tersampaikan lewat pengaruh ideologis barat yang kemudian direpresentasikan oleh golongan marxisme. (Herbert dan Lance, 2007).

Indonesia dengan Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam sila kedua dan kelima Pancasila. Selaras dengan pandangan Karl Marx, padangan tersebut akan menjadi sebuah formulasi penting demi kemajuan bangsa Indonesia.

Tjokroaminoto memandang bahwa Islam dan sosialisme bukanlah dua kutub yang saling berseberangan, justru sebaliknya, keduanya saling melengkapi dan membuahkan perpaduan yang apik. Ajaran sosialisme yang diajarkan oleh nabi, tentunya berdasarkan ayat al-Qur’an, yang mana di dalamnya tercatat secara tegas mengutuk siapapun yang hendak memupuk harta bagi kepentingan pribadi. Dengan ini, maka jelaslah bahwa Islam menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan kolektif tanpa memandang latar belakang maupun status sosial. (Amrun Aziz, 2018)

Catatan sejarah mengatakan, penyebaran Islam di mulai dari Makkah sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Kondisi masyarakat Makkah pada saat itu didominasi oleh para kapitalis, mereka menolak agama yang dibawakan oleh Muhammad dengan alasan karena melihat ajaran yang ditawarkan, berupa ajaran egaliterian. Konflik yang timbul antara kelompok elit Makkah dengan Nabi, pada dasarnya bukan seperti yang kita pahami selama ini, yaitu berupa persoalan mengenai keyakinan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Penolakan mereka terhadap ajaran nabi Muhammad didasarkan atas rasa ketakutan yang memberikan konsekuensi sosial ekonomi mereka, karena ajaran Nabi Muhammad berusaha melawan berbagai bentuk dominasi, eksploitasi maupun perbudakan. (Muhibin, 2008).

Upaya-upaya yang telah dilakukan Nabi, seperti penghapusan sekat antar qabilah dengan cara nikah silang antar qabilah merupakan langkah tegas dalam menghapus kelas sosial. Dalam kacamata Marxis, langkah ini menjadi salah satu langkah revolusioner sebagaimana dipahami dalam dialektika historis dan menjadikan Nabi dipandang sebagai sosok yang memiliki sikap revolusioner.

Nabi Muhammad Saw. hadir ditengah-tengah masyarakat bukan semata untuk menyebarkan ajaran agar taat kepada Tuhan, melainkan juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Dalam masyarakat kapitalistik, Nabi bersama sahabatnya berupaya untuk terus berjuang melawan serta menyuarakan kesetaraan dan keadilan.

Sosialisme yang digagas oleh Karl Marx berusaha untuk menghapus stratifikasi sosial dan mengangkat derajat masyarakat bawah yang tertindas serta membangun masyarakat egaliter di tengah maraknya eksploitasi kapitalisme. Sosialisme mencoba menghilangkan status sosial yang selama ini bersemayam di tengah-tengah masyarakat yang hanya berpihak kepada kaum borjuis serta menindas kaum proletar.

Kehadiran Karl Marx, di satu sisi memberikan angin segar kepada kaum proletar yang tertindas dan termarginalkan, serta di sisi lain memberikan kabar buruk dan menjadi ancaman bagi para kapitalis atas kemapanan mereka. Hingga saat ini, ajaran sosialisme yang dibawakan oleh Marx masih relevan, guna menebas rumput kapitalis yang masih memiliki akar dan belum tercerabut.

Sosialisme yang digagas Marx dengan Teori Masyarakat Tanpa Kelas ini, sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang begitu kentara dengan ajaran yang dibawakan Nabi Muhammad Saw. Hasan Hanafi memberikan pengertian mengenai masyarakat tanpa kelas atau egaliter, yaitu kondisi kehidupan masyarakat yang menempatkan anggota warganya dalam posisi yang setara, tidak ada yang kuat, superior dan inferior, tertindas maupun menindas. (Hanafi, tth).

Kehadiran sosok Muhammad dan Marx merupakan suatu anugerah bagi masyarakat kaum bawah, begitu pula bagi pengikut-pengikutnya. Karena, keduanya sama-sama memperjuangkan kesetaraan kelas dan menyuarakan keadilan. Dalam Islam sendiri, tingkat derajat seseorang tidak diukur menggunakan nominal harta maupun tingginya stratifikasi sosial,  melainkan dengan tingkat keimanan yang menjadi barometer derajat seseorang di hadapan Tuhan.

Di bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw., semoga kita bisa menapaki keteladanan yang telah diajarkan dan diserukan oleh Nabi, seperti halnya kesetaraan dan keadilan sosial. Sebagaimana Marx dalam bercita-cita terhapusnya stratifikasi sosial yang menguntungkan pihak tertentu.




Referensi:

Feith, Herbert dan Lance Castles. 2007. Indonesian Political Thinking 1945-1965, Jakarta. Equinox.

Muhammad, Aziz Amrun. 2018. “Islam, Politik Dan Sosialisme Perspektif  H.O.S Tjokroaminoto”. Risalah Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 4, No. 2.

Munir, Anam Che. 2008. Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.


[Sahabat Haikal/ LKP]

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama