(pmii1011.github.io) |
Keindahan Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak hanya terletak pada peringatan sebuah peristiwa bersejarah, tetapi juga pada resonansinya yang mendalam dengan semangat revolusi dan perubahan. Sebagai aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kita harus memanfaatkan momen ini untuk merenungkan hakikat santri yang sebenarnya dalam lanskap sosial-politik saat ini.
Istilah "revolusi" sering kali membangkitkan gambaran pergolakan, tetapi hal itu seharusnya merupakan sebuah evolusi—dorongan yang diperlukan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. Hari Santri adalah sebagai bentuk menghormati kontribusi para ulama dan santri terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pembentukan negara yang berdaulat.
Ketika merenungkan warisan sejarah perjuangan ini, kita harus menyadari bahwa tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks dan berbahaya. Isu-isu seperti kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, dan erosi nilai-nilai demokrasi menuntut perspektif baru dan komitmen baru di kalangan santri. Berbeda dengan zaman para pendahulu kita, revolusi hari ini bukan hanya tentang mempertahankan negara dari kekuatan kolonial; tetapi juga tentang mengatasi bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dari dalam.
Sebagai Aktivis PMII seharusnya mengadvokasi revolusi pemikiran, menumbuhkan pemikiran kritis dan partisipasi aktif di antara rekan-rekan Sekitar. Dengan melakukan usaha tersebut, kita dapat mempersiapkan diri untuk menantang status quo. Peran santri bukan hanya sebagai penerima pasif pengetahuan agama tetapi untuk terlibat aktif dalam dialog sosial, mempromosikan keadilan dan kasih sayang di setiap bidang—dari pendidikan hingga politik dan pengelolaan lingkungan.
Tagline “Ketika Santri Berbicara tentang Revolusi” merangkum keyakinan bahwa santri saat ini bukan sekadar peserta pasif dalam wacana politik; sebaliknya, mereka adalah agen perubahan. Sebagai insan akademis dan spiritual harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang mengadvokasi keadilan sosial dan Segala macam Ketimpangan. Hal ini mencerminkan gerakan yang lebih luas di kalangan pemuda di Indonesia. Dari santri untuk mengatasi masalah-masalah mendesak seperti korupsi, pemerataan pendidikan, dan kesempatan ekonomi, yang selaras dengan etos revolusioner yang dilambangkan oleh santri.
Dalam hal ini, Hari Santri menjadi gelar yang jelas untuk terlibat dalam isu-isu nasional yang penting. Lebih jauh, ajaran yang diterima oleh para santri—yang menekankan integritas, keadilan, dan persaudaraan—harus mendorong kita untuk memperluas perhatian di luar tembok madrasah kita. PMII harus memimpin dalam upaya yang mendorong santri lain untuk menjadi aktivis intelektual, memastikan bahwa suara kita beresonansi dengan perjuangan masyarakat kita saat ini. Menerima semangat revolusioner masa lalu tidak berarti meninggalkan tradisi kita. Sebaliknya, kita harus menggabungkan warisan kita ke dalam para pahlawan masa kini.
Akhirnya, saat kita merayakan Hari Santri, marilah kita ingat bahwa kekuatan kita sebagai Santri melampaui batas-batas gereja kita. Tugas kita adalah memanfaatkan energi ini dan menyalurkannya ke dalam tindakan yang bermakna - melalui kerja sosial, tujuan lingkungan, atau tindakan politik. Semangat revolusioner yang kita dukung bukanlah tentang perang. Kerja sama, pengertian, dan kemajuan, kita dapat mengubah fokus keyakinan kita untuk mengubah masa lalu, memastikan bahwa warisan kita dihormati di masa lalu kita, dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah. Menurut Edward Said, "revolusi adalah cara melihat" (Said, 1993). Kita perlu melihat dunia bukan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana seharusnya.
[Sahabat Zauhar F./ Pengurus PMII Rashul]